Sate Apaleh Geurugok, Bisnis Kuliner Dunia Akhirat
Di atas bara yang menyala dengan warna merah jingga, puluhan tusuk sate diletakkan. Asap mengepul, aroma harum semerbak menghinggapi indera cium siapa saja. Seorang lelaki setengah abad, berbadan agak berisi, sibuk mengatur, mengipas serta memindahkan tiap tusuk sate yang dibakar di atas arang yang menyala.
Sudah empat tahun Kota Geurugok, ibukota Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, berdenyut 24 jam. Kehadiran Sate Apaleh adalah penyebabnya. Matang Glumpangdua, yang dulunya dikenal sebagai kota sate, kini perannya pun meredup. Posisinya digantikan oleh Geurugok, yang dulu terengah-engah bergeliat.
Apaleh atau nama lengkapnya M Saleh (50) adalah pedagang sate yang sangat berpengalaman. Ia berguru pada salah seorang “suhu” sate di Kota Matangglumpangdua. Setelah bekerja cukup lama, ia pun pulang kampung dan membuka warung sate di samping Mesjid Besar Geurugok.
Empat tahun lalu, setelah penataan wajah kota Geurugok dilakukan oleh Pemerintah Bireuen, ia pun pindah ke seberang jalan. Spanduk Sate Apaleh pun dibentangkan dengam warna yang cukup menarik perhatian.
Kepada aceHTrend, Rabu (14/11/2018) Apaleh bercerita bahwa saat ini dia bisa menghabiskan satu lembu berukuran sedang, untuk lima gerobak satenya yang kini berdiri sejajar dan menaungi beberapa warung kopi tradisional di satu deretan itu.
“Alhamdulillah untuk hari biasa 100 kg daging selalu habis untuk lima rak. Untuk hari tertentu lebih dari itu, khususnya minggu dan hari-hari besar, jumlahnya lebih banyak,” ujar Apaleh.
Sebagai pedagang sate yang cukup sukses di dunia persatean Bireuen, tampilan Apaleh sangat sederhana. Berpeci hitam dan mengenakan kemeja putih lengan panjang, adalah style hariannya. Ia pun masih turun tangan ikut memanggang sate dan sesekali menemani pelanggan yang mengajaknya bicara.
“Semua ini titipan Allah,” ujarnya merendah.
Sebagai bentuk kepedulian sosialnya, Apaleh mendirikan Balai Pengajian Darul Khairat Al-Aziziyah, di kampungnya Paloh Me, yang terpaut seratusan meter dari Kota Geurugok ke sebelah selatan.
Tidak tanggung-tanggung, jumlah santri yang belajar di sana mencapai 500 orang.
“Hidup harus bermanfaat bagi orang ramai. Saya kebetulan cenderung gemar pada pendidikan agama Islam, maka sebagai bentuk kepedulian, saya bangun balai pengajian di rumah,” ujarnya.
***
Akhyar Rasyidi (45) seorang swasta profesional yang kini bekerja di sebuah lembaga yang mengurusi bidang permigasan dan minyak di Aceh, merupakan salah seorang peminat sate Apaleh. Tiap ingin menikmati sate lembu berbumbu kacang, ia selalu mampir ke Geurugok.
Apa yang membuat lelaki berkulit kuning langsat itu jatuh cinta kepada sate Apaleh?
“Rasanya selalu sama setiap kali singgah. Dagingnya manis, kuah sotonya maantap. Ukurannya pun pas, serta harga yang sesuai. Tidak ada praktik culas dari karyawan sate Apaleh,” ujar Ahyar sembari tersenyum.
Fauzan Daud, salah seorang owner media berbasis daring di Aceh, juga punya pendapat yang sama. Lelaki berkulit gelap dengan tampang mirip Arab itu mengatakan sate Apaleh rasanya enak. Ukuran satenya pun besar dan minim lemak.
Soal ukuran sate, Mukhtaruddin yang merupakan mantan Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Bireuen, punya cerita khusus. Apaleh menurut Mukhtar sangat konsisten menjaga kualitas. “Nyaris tanpa lemak, ukuran dan rasa juga memuaskan, sekarang kalau ingin makan sate, saya tidak lagi ke Matangglumlangdua, tapi justru ke Geurugok. Tak apa walau agak jauh, tapi puas,” katanya ramah.